SEJARAH MUSIK REGGAE
Tahun 1968 banyak disebut sebagai tahun kelahiran musik reggae. Sebenarnya tidak ada kejadian khusus yang menjadi penanda awal muasalnya, kecuali peralihan selera musik masyarakat Jamaika dari Ska dan Rocsteady, yang sempat populer di kalangan muda pada paruh awal hingga akhir tahun 1960-an, pada irama musik baru yang bertempo lebih lambat : reggae. Boleh jadi hingar bingar dan tempo cepat Ska dan Rocksteady kurang mengena dengan kondisi sosial dan ekonomi di Jamaika yang sedang penuh tekanan.
Tahun 1968 banyak disebut sebagai tahun kelahiran musik reggae. Sebenarnya tidak ada kejadian khusus yang menjadi penanda awal muasalnya, kecuali peralihan selera musik masyarakat Jamaika dari Ska dan Rocsteady, yang sempat populer di kalangan muda pada paruh awal hingga akhir tahun 1960-an, pada irama musik baru yang bertempo lebih lambat : reggae. Boleh jadi hingar bingar dan tempo cepat Ska dan Rocksteady kurang mengena dengan kondisi sosial dan ekonomi di Jamaika yang sedang penuh tekanan.
Kata
“reggae” diduga berasal dari pengucapan dalam logat Afrika dari kata “ragged”
(gerak kagok–seperti hentak badan pada orang yang menari dengan iringan musik
ska atau reggae). Irama musik reggae sendiri dipengaruhi elemen musik R&B
yang lahir di New Orleans, Soul, Rock, ritmik Afro-Caribean (Calypso,
Merengue, Rhumba) dan musik rakyat Jamaika yang disebut Mento, yang kaya
dengan irama Afrika. Irama musik yang banyak dianggap menjadi pendahulu
reggae adalah Ska dan Rocksteady, bentuk interpretasi musikal R&B yang
berkembang di Jamaika yang sarat dengan pengaruh musik Afro-Amerika. Secara
teknis dan musikal banyak eksplorasi yang dilakukan musisi Ska, diantaranya
cara mengocok gitar secara terbalik (up-strokes) , memberi tekanan nada pada
nada lemah (syncopated) dan ketukan drum multi-ritmik yang kompleks.
Teknik
para musisi Ska dan Rocsteady dalam memainkan alat musik, banyak ditirukan oleh
musisi reggae. Namun tempo musiknya jauh lebih lambat dengan dentum bas dan
rhythm guitar lebih menonjol. Karakter vokal biasanya berat dengan pola lagu
seperti pepujian (chant), yang dipengaruhi pula irama tetabuhan, cara
menyanyi dan mistik dari Rastafari. Tempo musik yang lebih lambat, pada
saatnya mendukung penyampaian pesan melalui lirik lagu yang terkait dengan
tradisi religi Rastafari dan permasalahan sosial politik humanistik dan
universal.
Album
“Catch A Fire” (1972) yang diluncurkan Bob Marley and The Wailers dengan
cepat melambungkan reggae hingga ke luar Jamaika. Kepopuleran reggae di
Amerika Serikat ditunjang pula oleh film The Harder They Come (1973)
dan dimainkannya irama reggae oleh para pemusik kulit putih seperti Eric
Clapton, Paul Simon, Lee ‘Scratch’ Perry dan UB40. Irama reggae pun kemudian
mempengaruhi aliran-aliran musik pada dekade setelahnya, sebut saja varian
reggae hip hop, reggae rock, blues, dan sebagainya.
Jamaika
Akar
musikal reggae terkait erat dengan tanah yang melahirkannya: Jamaika. Saat
ditemukan oleh Columbus pada abad ke-15, Jamaika adalah sebuah pulau yang
dihuni oleh suku Indian Arawak. Nama Jamaika sendiri berasal dari kosa kata
Arawak “xaymaca” yang berarti “pulau hutan dan air”. Kolonialisme Spanyol dan
Inggris pada abad ke-16 memunahkan suku Arawak, yang kemudian digantikan oleh
ribuan budak belian berkulit hitam dari daratan Afrika. Budak-budak tersebut
dipekerjakan pada industri gula dan perkebunan yang bertebaran di sana.
Sejarah kelam penindasan antar manusia pun dimulai dan berlangsung
hingga lebih dari dua abad. Baru pada tahun 1838 praktek perbudakan dihapus,
yang diikuti pula dengan melesunya perdagangan gula dunia.
Di tengah
kerja berat dan ancaman penindasan, kaum budak Afrika memelihara keterikatan
pada tanah kelahiran mereka dengan mempertahankan tradisi. Mereka mengisahkan
kehidupan di Afrika dengan nyanyian (chant) dan bebunyian (drumming)
sederhana. Interaksi dengan kaum majikan yang berasal dari Eropa pun
membekaskan produk silang budaya yang akhirnya menjadi tradisi folk asli
Jamaika. Bila komunitas kulit hitam di Amerika atau Eropa dengan cepat luntur
identitas Afrika mereka, sebaliknya komunitas kulit hitam Jamaika masih
merasakan kedekatan dengan tanah leluhur.
Musik
reggae sendiri pada awalnya lahir dari jalanan Getho (perkampungan kaum
rastafaria) di Kingson ibu kota Jamaika. Inilah yang menyebabkan gaya rambut
gimbal menghiasi para musisi reggae awal dan lirik-lirik lagu reggae sarat
dengan muatan ajaran rastafari yakni kebebasan, perdamaian, dan keindahan
alam, serta gaya hidup bohemian. Masuknya reggae sebagai salah satu unsur
musik dunia yang juga mempengaruhi banyak musisi dunia lainnya, otomatis
mengakibatkan aliran musik satu ini menjadi barang konsumsi publik dunia.
Maka, gaya rambut gimbal atau dreadlock serta lirik-lirik ‘rasta’ dalam
lagunya pun menjadi konsumsi publik. Dalam kata lain, dreadlock dan ajaran
rasta telah menjadi produksi pop, menjadi budaya pop, seiring berkembangnya
musik reggae sebagai sebuah musik pop.
Musik
reggae, sebutan rastaman, telah menjadi satu bentuk subkultur baru di negeri
ini, di mana dengannya anak muda menentukan dan menggolongkan dirinya. Di
sini, musik reggae menjadi penting sebagai sebuah selera, dan rastaman
menjadi sebuah identitas komunal kelompok social tertentu. Tinggal bagaimana
para pengamat social dan juga para anggota komunitas itu memahami diri dan
kultur yang dipilihnya, agar tidak terjadi penafsiran keliru yang berbahaya
bagi mereka. Penggunaan ganja adalah salah satu contohnya, di mana reggae
tidak identik dengan ganja serta rastafarianisme pun bukanlah sebuah
komunitas para penghisap ganja.
Sebuah
lagu dari “Peter Tosh” (nama aslinya Peter McIntosh), pentolan The Wairles
yang akhirnya bersolo karier. Dalam lagu ini, Peter Tosh menyatakan dukungannya
dan tuntutannya untuk melegalkan ganja. Karena lagu ini, ia sempat ditangkap
dan disiksa polisi
> dari
berbagai sumber.