Jamaika
Akar musikal
reggae terkait erat dengan tanah yang melahirkannya: Jamaika. Saat ditemukan
oleh Columbus pada abad ke-15, Jamaika adalah sebuah pulau yang dihuni oleh
suku Indian Arawak. Nama Jamaika sendiri berasal dari kosa kata Arawak
“xaymaca” yang berarti “pulau hutan dan air”. Kolonialisme Spanyol dan Inggris
pada abad ke-16 memusnahkan suku Arawak, yang kemudian digantikan oleh ribuan
budak belian berkulit hitam dari daratan Afrika. Budak-budak tersebut
dipekerjakan pada industri gula dan perkebunan yang bertebaran di sana. Sejarah
kelam penindasan antar manusia pun dimulai dan berlangsung hingga lebih dari
dua abad. Baru pada tahun 1838 praktek perbudakan dihapus, yang diikuti pula
dengan melesunya perdagangan gula dunia.
Di tengah
kerja berat dan ancaman penindasan, kaum budak Afrika memelihara keterikatan
pada tanah kelahiran mereka dengan mempertahankan tradisi. Mereka mengisahkan
kehidupan di Afrika dengan nyanyian (chant) dan bebunyian (drumming) sederhana.
Interaksi dengan kaum majikan yang berasal dari Eropa pun membekaskan produk
silang budaya yang akhirnya menjadi tradisi folk asli Jamaika. Bila komunitas
kulit hitam di Amerika atau Eropa dengan cepat luntur identitas Afrika mereka,
sebaliknya komunitas kulit hitam Jamaika masih merasakan kedekatan dengan tanah
leluhur.
Musik reggae
sendiri pada awalnya lahir dari jalanan Getho (perkampungan kaum rastafaria) di
Kingson ibu kota Jamaika. Inilah yang menyebabkan gaya rambut gimbal menghiasi
para musisi reggae awal dan lirik-lirik lagu reggae sarat dengan muatan ajaran
rastafari yakni kebebasan, perdamaian, dan keindahan alam, serta gaya hidup
bohemian. Masuknya reggae sebagai salah satu unsur musik dunia yang juga
mempengaruhi banyak musisi dunia lainnya, otomatis mengakibatkan aliran musik
satu ini menjadi barang konsumsi publik dunia. Maka, gaya rambut gimbal atau
dreadlock serta lirik-lirik ‘rasta’ dalam lagunya pun menjadi konsumsi publik.
Dalam kata lain, dreadlock dan ajaran rasta telah menjadi produksi pop, menjadi
budaya pop, seiring berkembangnya musik reggae sebagai sebuah musik pop.
Musik
reggae, sebutan rastaman, telah menjadi satu bentuk subkultur baru di negeri
ini, di mana dengannya anak muda menentukan dan menggolongkan dirinya. Di sini,
musik reggae menjadi penting sebagai sebuah selera, dan rastaman menjadi sebuah
identitas komunal kelompok social tertentu. Tinggal bagaimana para pengamat
social dan juga para anggota komunitas itu memahami diri dan kultur yang
dipilihnya, agar tidak terjadi penafsiran keliru yang berbahaya bagi mereka.
Penggunaan ganja adalah salah satu contohnya, di mana reggae tidak identik
dengan ganja serta rastafarianisme pun bukanlah sebuah komunitas para penghisap
ganja.
Sebuah lagu
dari “Peter Tosh” (nama aslinya Peter McIntosh), pentolan The Wairles yang
akhirnya bersolo karier. Dalam lagu ini, Peter Tosh menyatakan dukungannya dan
tuntutannya untuk melegalkan ganja. Karena lagu ini, ia sempat ditangkap dan
disiksa polisi Jamaika.
Menurut
sejarah Jamaica, budak yang membawa drum dari Africa disebut “Burru” yang jadi
bagian aransemen lagu yang disebut “talking drums” (drum yang bicara) yang asli
dari Africa Barat. “Jonkanoo” adalah musik budaya campuran Afrika, Eropa dan
Jamaika yang terdiri dari permainan drum, rattle (alat musik berderik) dan
conch tiup. Acara ini muncul
saat natal
dilengkapi penari topeng. Jonkanoos pada awalnya adalah tarian para petani,
yang belakangan baru disadari bahwa sebenarnya mereka berkomunikasi dengan drum
dan conch itu. Tahun berikutnya, Calypso dari Trinidad & Tobago datang
membawa Samba yang berasal dari Amerika Tengah dan diperkenalkan ke orang -
orang Jamaika untuk membentuk sebuah campuran baru yang disebut Mento. Mento
sendiri adalah musik sederhana dengan lirik lucu diiringi gitar, banjo,
tambourine, shaker, scraper dan rumba atau kotak bass. Bentuk ini kemudian
populer pada tahun 20 dan 30an dan merupakan bentuk musik Jamaika pertama yang
menarik perhatian seluruh pulaunya. Saat ini Mento masih bisa dinikmati sajian
turisme. SKA yang sudah muncul pada tahun 40 - 50an sebenarnya disebutkan oleh
History of Jamaican Music, dipengaruhi oleh Swing, Rythym & Blues dari
Amrik. SKA sebenarnya adalah suara big band dengan aransemen horn (alat tiup),
piano, dan ketukan cepat “bop”. Ska kemudian dengan mudah beralih dan
menghasilkan bentuk tarian “skankin” pad awal 60an. Bintang Jamaica awal antara
lain Byron Lee and the Dragonaires yang dibentuk pada 1956 yang kemudian
dianggap sebagai pencipta “ska”. Perkembangan Ska yang kemudian melambatkan
temponya pada pertengahan 60an memunculkan “Rock Steady” yang punta tune bass
berat dan dipopulerkan oleh Leroy Sibbles dari group Heptones dan menjadi musik
dance Jamaika pertama di 60an.